Isra’
& Mikraj- petikan daripada buku...
Utusan Pertama
Menemui Rasulullah saw
Pada saat
Rasulullah saw dan para sahabat sedang menghadapi siksaan dan gangguan
dari kaum
Quraisy, datanglah utusan dari luar Mekkah menemui Rasulullah saw ingin
mempelajari
Islam. Mereka berjumlah tiga puluh orang lebih semuanya lelaki dari kaum
Nasrani Habsyiah,
datang bersama Ja’far bin Abu Thalib. Setelah bertemu dengan Rasulullah
saw dan
mengetahui sifat-sifatnya, serta mendengar ayat-ayat al-Quran yang dibacakan
kepada
mereka,
segeralah mereka beriman semuanya.
Ketika berita
ini sampai kepada Abu Jahal, seera ia mendatangi mereka seraya berkata,“
Kami belum
pernah melihat utusan yang paling bodoh kecuali kamu! Kamu diutus oleh
kaummu untuk
menyelidiki orang ini, tetapi belum sempat kamu duduk dengan tenang di
hadapannya,
kamu sudah melepas agamamu, dan membenarkan apa yang diucapkannya.“
Jawab mereka,“
Semoga keselamatan atasmu. Kami tidak mau bertindak bodoh seperti kamu.
Biarlah kami
mengikuti pendirian kami, dan kamu pun bebas mengikuti pendirianmu. Kami
tidak ingin
kehilangan kesempatan yang baik ini.“
Berkatan dengan
peristiwa itu Allah menurunkan firman-Nya :
„ Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada
mereka al-Kitab sebelum al-Quran , mereka
beriman (pula) dengan al-Quranitu . Dan apabila
dibacakan (al-Quran itu ) kepada mereka,
mereka berkata,“ Kami beriman kepadanya,
sesungguhnya al-Quran itu adalah sesuatu
kebenaran dari Rabb kami, sesungguhnya kami
sebelumnya adalah orang-orang yang
membenarkan-nya.“Mereka itu diberi pahala dua
kali disebabkan kesabaran mereka, dan
merekamenolak kejahatan dengan kebaikan, dan
sebagian dari apa yang telah Kami rejekikan
kepada mereka, mereka nafkahkan. Dan apabila
mereka mendengar perkataan yang tidak
bermanfaat mereka berpaling daripadanya dan
mereka berkata ,“ Bagi kami amal-amal kami,
dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas
dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan
orang-orang bodoh.“ QS al-Qashash
: 52-55
Beberapa
Ibrah
Berkaitan
dengan utusanini ada dua masalah penting yang menarik perhatian kita :
Pertama
:
Bahwa
kedatangan utusan itu ke Mekkah untuk menemui Rasulullah saw dan mempelajari
Islam, pada
sat-saat kaum Muslimin sedang menghadapi siksaan, gangguan, pemboikotan, dan
tekanan,
merupakan bukti nyata bahwa penderitaan dan musibah ynag dialami oleh para
aktivis
dakwah tidak
berarti sama sekali sebagai suatu kegagalan. Di samping tidak boleh menjadi
lemah atau
putus asa. Bahkan siksaan dan gangguan, sebagaimana telah kami katakan,
merupakan jalan
yang harus ditempuh untuk mencapai keberhasilan dan kemenangan. Utusan
dari Nasrani
Habasyiah yang berjumlah tiga puluh orang atau dalam riwayat lain dikatkaan
empat puluh
orang lebih, datang dari negeri seberang kepada Rasulullah saw untuk menyatakan
wala’
(dukungan) kepada dakwah baru (Islam). Juga secara de fakto menyatakan bahwa
musuh-musuh dakwah Islam tidak akan mampu kendatipun melancarkan berbagai
tekanan teror,
sisksaan, dan
intimidasi keapda para aktivisnya menghalangi keberhasilannya atau menahan
penyebarannya
ke berbagai penjuru dunia.
Dan seolah-olah
Abu Jahal telah mengetahui hakekat ini, sehingga terlihat nyata
pengaruhnya
pada jiwa dan ucapannya yang busuk yang ditujukan kepada utusan tersebut.
Tetapi apa yang
dapat ia lakukan ? Sesuatu yang dapat ia lakukan hanyalah meningkatkan
penyiksaan dan
teror kepada kaum Muslimin. Dia dan orang-orang yang sepertinya tidak akan
mampu
menghalangi keberhasilan dan tersebarnya dakwah Islam.
Kedua
:
Apakah jenis
keimanan para utusan tersebut ? Apakah dari jenis keimanan orang yang keluar
dari kegelapan
kepada cahaya terang ?
Sesungguhnya
keimanan mereka hanyalah kelanjutan dari keimanan yang terdahulu, dan
sekedar
melaksanakan konsekuensi dari aqidah yang dianutnya. Mereka adalah (menurut
istilah
para perawi
Sirah) para panganut Injil yang beriman dan mengikuti petunjuknya . Karena
Injil
memerintahkan
agar mengikuti Rasul yang datang sesudah Isa as, maka sebagai konsekuensi
keimananya
ialah mengimani Nabi ini, yaitu Muhammad saw.
Dengan demikian
keimanan mereka kepada Rasulullah saw bukan proses perindahan
dari suatu
agama kepada agama lain yang lebih baik. Tetapi hanya merupakan kelanjutan dari
hakekat
keimanan kepada Isa as dan ajarannya. Inilah yang dimaksudkan oleh Allah dalam
firman-Nya :
„Dan apabila dibacakan (al-Quranitu ) kepada
mereka, mereka berkata,“ Kami beriman
kepadanya, sesungguhnya al-Quran itu adalah
suatu kebenaran dari Rabb kami, sesungguhnya
kami sebelumnya adalah orang-orang yang
membenarkan(nya).“ QS Al-Qashash : 53
Yakni kami
sebelumnya telah membenarkan dan mengimani ajaran yang diserukan oleh
Muhammad saw,
sebelum bi’tsahnya, karena ajaran itu termasuk yang diperintahkan oleh Injil
untuk
mengimaninya.
Demikianlah
sikap setiap orang yang benar-benar berpegang teguh kepada ajaran yagn
dibawa oleh Isa
as atau Musa as. Karena itu Allah memerintahkan Rasul-Nya agar dalam
mengajak ahli
Kitab kepada Islam cukup dengan menuntut pelaksanaan ajaran yang terdapat di
dalam Taurat
dan Injil yang mereka imani. Firman Allah :
„Katakanlah „Hai ahli Kitab, kamu tidak
dipandang beragama sedikitpun sehingga kamu
menegakkan ajaran-ajaran Taurat dan Injil....“
QS al-Ma’idah : 68
Ini merupakan
penegasan terhadap apa yang telah kami jelaskan , bahwa ad-Dinul Haq
( agama yang
benar) itu hanya satu semenjak Adam as hingga Nabi Muhammad saw. Perkataan
„agama-agama
langit“ yang sering kita dengar adalah tidak benar. Ya, memang terdapat
syariat-syariat langit yang beraneka ragam dan setiap syariat langit
menghapuskan syariat sebelumnya. Tetapi tidak boleh disamakan antara ad-Din
atau aqidah dengan syariat yang bearti hukum-hukum amaliah yang berkaitan
dengan peribadatan atau mu’amalah.
Tahun Duka Cita
Pada tahun
kesepuluh kenabian, istri Nasbi saw, Khadijah binti Khuwailid, dan pamannya ,
Abu Thlaib , wafat. Berkata Ibnu Sa’d dalam Thabaqat-nya : Selisih waktu antara
kematian Khadijah dan kematian Abu Thalib hanya satu bulan lima hari. Khadija
r.a. sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hisyam adalah menteri kebenaran untuk Islam.
Pada saat-saat Rasulullah saw menghadapi masalah-masalah berat, beliaulah yang selalu
menghibur dan membesarkan hatinya. Akan halnya Abu Thalib, dia telah memberikan
dukungan kepada Rasulullah saw dalam menghadapi kaumnya.
Berkata Ibnu
Hisyam : Setelah Abu Thalib meninggal, kaum Quraisy bertambah leluasa
melancarkan
penyiksaan kepada Rasulullah saw, sampai orang awam Quraisy pun berani
melemparkan
kotoran ke atas kepala Rasulullah saw. Sehingga pernah Rasulullah saw pulang
ke rumah
berlumuran tanah. Melihat ini, salah seorang putri beliau bangkit dan
membersihkan
kotoran dari
atas kepalanya sambil menangis. Tetapi Rasulullah saw berkata kepadanya, “Janganlah
engkau menangis wahai anakku, sesungguhnya Allah akan menolong bapakmu.“
Nabi saw
menamakan ini sebagai„ tahun duka cita, karena begitu berat dan hebatnya
penderitaan di
jalan dakwah pada tahun ini.
Beberapa
Ibrah
Perhatikanlah ,
apa sebenarnya hikmah dan rahasia Allah dalam mempercepat kematian
Abu Thalib,
sebelum terbentuknya kekuatan dan masih sedikitnya pertahanan kaum Muslimin
di Mekkah?
Padahal seperti telah diketahui, Abu Thalib banyak memberikan pembelaan
kepada
Rasulullah saw . Demikian pula, apa hikmah dan rahasia Allah dalam mempercepat
kematian
Khadijah r.a.? Padahal Rasulullah saw masih sangat memerlukan orang yang selalu
menghibur dan
membesarkan hatinya, atau meringankan beban-beban penderitaannya?
Di sini nampak
suatu fenomena penting yang berkaitan dengan prinsip aqidah Islam.
Seandainya Abu
Thalib berusia panjang mendampingi dan membela Rasulullah saw
sampai
tegakknya negara Islam di Madinah, dan selama itu Rasulullah saw dapat
terhindar dari
gangguan kaum
musyrik, niscaya akan timbul kesan bahwa Abu Thlaib adalah tokoh utama
yang berada di
balik layar dakhwa ini. Dialah yang dengan kedudukannya dan pengaruhnya ,
seolah-olah
memperjuangkan dan melindungi dakwah Islam, kendatipun tidak menampakkan
keimanan dan
keterikatannya kepada dakwah Islam. Atau tentu muncul analiya panjang lebar
yang
menjelaskan „nasib baik“ yang diperoleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan
dakwahnya
lantaran pembelaan pamannya. Sementara nasib baik ini tidak diperoleh kaum
Muslimin yang
ada di sekitarnya. Seolah-olah, ketika semua orang disiksa dan dianiaya, hanya
beliaulah yang
terbebas dan terhindar.
Sudah menjadi
ketentuan Ilahi bahwa Rasulullah saw harus kehilangan orang yang
secara lahiriah
melindungi dan mendampinginya. Abu Thalib dan Khadijah. Ini antara lain untuk
menampakkan dua
hakekat penting.
Pertama, sesungguhnya
perlindungan itu , pertolongan dan kemenangan itu hanya datang dari
Allah swt.
Allah telah berjanji untuk melindungi Rasul-Nya dari kaum musyrik dan musuh-musuhnya.
Karena itu , dengan atau tanpa pembelaanmanusia, Rasulullah saw tetap akan
dijaga
dan dilindungi
oleh Allah, dan bahwa dakwahnya pada akhirnya akan mencapai kemenangan.
Kedua, ‘ishmah
(perlingungan dan penjagaan) di sini tidka berarti terhindar dari gangguan,
penyiksaan atau
penindasan. Tetapi arti ‘ishmah (perlindungan) yang dijanjikan Allah dalam
firman-Nya :
„Allah melindungi dari (ganggungan) manusia
,“QS al-Ma’idah : 67
Ialah
perlindungan dari pembunuhan atau dari segala bentuk rintangan dan perlawanan
yang dapat
menghentikan dakwah Islam. Ketetapan Ilahi bahwa para Nabi dan Rasul-Nya
harus merasakan
aneka ragam gangguan dan penyiksaan tidak bertentangan dengan prinsip
‘ishmah yang
dijanjikan oleh Allah kepada mereka. Oleh sebab itu setelah ayat :
„Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan
segala apa yang diperintahkan
(kepadamu), dan berpalinglah dari orang-orang
musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara
kamu dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olok
kamu.“ QS al-Hijr 94-95
Allah berfirman
kepada Rasulullah saw :
„Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui , bahwa
dadamu sempit disebabkan apa yang mereka
ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu
dan jadilah kamu di antara orang-orang
yang bersujud (shalat), dan sembahlah Rabb-mu
sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).“
QS al-Hijr : 97-99
Adalah termasuk
Sunnahtullah dan hikmah Ilahiyah yang sangat besar artinya bahwa
Rasulullah saw
harus mengalami dan menghadapi berbagai cobaan berat di jalan dakwah.
Sebab dengan
demikian para da’i pada setiap jaman akan menganggap ringan segala bentuk
cobaan berat
yang ditemuinya di jalan dakwah. Seandainya Nabi saw berhasil dalam dakwahnya
tnapa penderitaan atau perjuangan berat, niscaya para sahabatnya dan kaum
Muslimin sesudahnya ingin berdakwah dengan santai, sebagaimana yang dilalukan
oleh beliau dan merasa berat menghadapi penderitaan dan ujian yang mereka temui
di jalan dakwah.
Tetapi, dengan
melihat penderitaan yang dialami Rasulullah saw akan terasa ringanlah
segala beban
penderitaan yang harus dihadapi oleh kaum Muslimin di jalan dakwah. Karena
dengan demikian
mereka sedang merasakan apa yang pernah dirasakan oleh Rasulullah saw
dan berjalan di
jalan yang perlah dilewati oleh beliau.
Betapapun penghinaan
dan penyiksaan yang dilancarkan manusia kepada mereka, tak
akan pernah
melemahkan semangat perjuangannya. Bukankah Rasulullah saw sendiri , sebagai
kekasih Allah
pernah dianiaya dan dilempari kotoran pada kepalanya sehingga terpaksa harus
pulnag ke rumah
dengan kepala kotor? Apalagi jika dibandingkan dengen penderitaan dan
penyiksaan yang
pernah ditemui Rasulullah saw ketika berhijrah di Thaif.
Hal lain yang
berkaitan dengan bagian Sirah Rasulullah saw ini ialah, munculnya
anggapan dari
sementara pihak bahwa Rasulullah saw menamakan tahun ini sebagai tahun duka
cita
semata-mata karena kehilangan pamannya, Abu Thalib dann istrinya, Khadija binti
Khuwailid.
Dengan dalih ini, mungkin mereka lalu mengadakan acara berkabung atas kematian
seseorang
selama beberapa hari dengan memasang bendera berkabung dan lain sebagainya.
Sebenarnya
pemahaman dan penilaian ini keliru. Sebab Nabi saw tidak bersedih hati
sedemikian rupa
atas meninggalnya paman dan istrinyanya. Rasulullah saw juga tidak menyebut
tahunini dengan
tahun duka cita, semata-mata karena kehilangna sebagian keluarganya. Tetapi
karena bayangan
akan tertutupnya hampir seluruh pintu dakwah Islam setelah kematian kedua
orang ini.
Sebagaimana kita ketahui, pembelaan Abu Thalib kepada Rasulullah saw benyak
memberikan
peluang dan jalan untuk menyampaikan dakwah dan bimbingan. Bahkan
Rasulullah saw
sendiri telah melihat sebagian keberhasilannya dalam membantu melaksanakan
tugas
dakwahnya.
Tetapi setelah
kematian Abu Thalib peluang-peluang itu menjadi tertutup. Setiap kali
mencoba untuk
menerobos selalu saja mendapatkan rintangan dan permusuhan. Kemana saja
beliau pergi ,
jalan selalu tertutup baginya. Tak seorangpun yang mendengarkan dan meyakini
dakwahnya.
Bahkan semua orang mencemuhkan dan memusuhinya. Sehingga hal ini
menimbulkan
rasa sedih ynag mendalam di hati Rasulullah saw, karena itulah kemudian tahun
ini dinamkan
tahun duka cita.
Bahkan kesedihan
karena keberpalingan manusia dari kebenaran yang dibawanya ini
telah
sedemikian rupa mempengaruhi dirinya, sehingga untuk mengurangi kesedihan ini
Allah
menurunkan
beberapa ayat yang menghibur dan mengingatkannya, bahwa ia hanya dibebani
tugas untuk
menyampaikan, tidak perlu menyesali diri sedemikian rupa, jika mereka tidak mau
beriman dan
menyambut seruannya.
Perhatikan
ayat-ayat berikut ini :
„Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa apa yang
mereka katakan itu menyedihkan hatimu,
(janganlah kamu bersedih hati), karena mereka
sebenarnya bukan mendustakan kamu , akan
tetapi orang-orang yang dzalim itu mengingkari
ayat-ayat Allah. Dan sesungguhnya telah
didustakan (pula) Rasul-rasul sebelum kamu, akan
tetapi mereka sabar terhadap pendustaan
dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap
mereka. Tak ada seorangpun yang dapat
mengubah kalimat-kalimat (janji ) Allah. Dan sesungguhnya
telah datang kepadamu sebagian
dari berita Rasul-rasul itu. Dan jika
perpalingan mereka (darimu) terasa amat berat bagimu,
maka jika kamu dpat membuat lubang di bumi atau
tangga di langit lalu kamu daapt
mendatangkan mu’jizat kepada mereka, (maka
buatlah). Kalau Allah menghendaki tentu saja
Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk,
sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk
orang yang jahil.“ QS al-An’am : 33-35
Hijrah
Rasulullah saw ke Thaif
Setelah
merasakan berbagai siksaan dan penderitaan yang dilancarkan kaum Quraisy ,
Rasulullah saw
berangkat ke Thaif mencari perlindungan dan dukungan dari bani Tsaqif dan
berharap agar
mereka dapat menerima ajaran yang dibawanya dari Allah. Setibanya di Thaif ,
beliau menuju tempat para pemuka bani Tsaqif , sebagai orang-orang yang
berkuasa di daerah tersebut. Beliau berbicara tentang Islam dan mengajak mereka
supaya beriman kepada Allah. Tetapi ajakan beliau terebut ditolak mentah-menta
dan dijawab secara kasar. Kemudian Rasulullah saw bangkit dan meninggalkan
mereka, seraya mengharap supaya mereka menyembunyikan berita kedatangannya ini
dari kaum Quraisy, tetapi merekapun menolaknya.
Mereka lalu
mengerahkan kaum penjahat dan para budak untuk mencerca dan melemparinya dengan
batu, sehingga mengakibatkan cidera pada kedua kaki Rasulullah saw. Zaid bin
Haritsah, berusaha keras melindungi beliau, tetapi kewalahan, sehingga ia
sendiri terluka pada kepalanya.
Setelah
Rasulullah saw sampai di kebun milik ‘Utbah bin Rabi’ah kaum penjahat dan
para budak yang
mengejarnya berhenti dan kembali. Tetapi tanpa diketahui ternyata beliau
sedang
diperhatikan oleh dua orang anak Rabi’ah yang sedang berada di dalam kebun.
Setelah
merasa tenang
di bawah naungan pohon anggur itu, Rasulullah saw mengangkat kepalanya
seraya
mengucapkan doa berikut :
„Ya, Allah kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku
kurangnya kesanggupanku, dan
kerendahan diriku berhadapan dengan manusia.
Wahai Dzat Yang Maha Pengasih ladi Maha
Penyayang. Engkaulah Pelindung bagi si lemah dan
Engkau jualah pelindungku! Kepada siaa
diriku hendak Engkau serahkan ? Kepada orang
jauh ynag berwajah suram terhadapku, atau
kah kepada musuh yang akan menguasai diriku ?
Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka
semua itu tak kuhiraukan , karena sungguh besar
nikmat yang telah Engkau limpahkan
kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya
wajah-Mu , yang menerangi kegelapan dan
mendatangkan kebajikan di dunia dan di akherat
dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan
dan mempersalahkan diriku. Engkau berkenan.
Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun
selain atas perkenan-Mu.“
Berkat do’a
Rasulullah saw itu tergeraklah rasa iba di dalam hati kedua anak lelaki Rabi’ah
yang memiliki kebun itu. Mereka memanggil pelayannya seorang Nasrani, bernama Addas,
kemudian diperintahkan,“ Ambilkan buah anggur, dan berikan kepada orang itu!“
Ketika Addas
emletakkan anggur itu di hadapan Rasulullah saw, dan berkata kepadanya,“
Makanlah!“
Rasulullah saw mengulurkan tangannya seraya mengucapkan ,“Bismillah.“
Kemudian
dimakannya. Mendengar ucapan beliau itu, Addas berkata,“Demi Allah, kata-kata
itu tidap pernah diucapkan oleh penduduk daerah ini.“ Rasulullah saw bertanya,“
Kamu dari daerah mana dan apa agamamu?“ Addas menjawab,“ Saya seorang Nasrani
dari daerah Ninawa ( sebuah desa di Maushil sekarang).“ Rasulullah saw bertanya
lagi ,“ Apakah kamu dari negeri seorang saleh yang bernama Yunus anak Matius?“
Rasulullah saw menerangkan, Yunus bin Matius adalah saudaraku. Ia seorang Nabi
dan aku pun seorang Nabi.“ Seketika itu juga Addas berlutut di hadapan
Rasulullah saw, lalu mencium kepala, kedua tangan dan kedua kaki beliau.
Ibnu Ishaq
berkata : Setelah itu Rasulullah saw meninggalkan Thaif dan kembali ke
Mekkah sampai
di Nikhlah Rasulullah saw bangun pada tengah malam melaksanakan shalat.
Ketika itulah
beberapa makhluk yang disebutkan oleh Allah lewat dan mendengar bacaan
Rasulullah saw.
Begitu Rasulullah saw selesai shalat, mereka bergegas kembali kepada
kaumnya seraya
memerintahkan agar beriman dan menyambut apa yang baru saja mereka
dengar. Kisah
mereka ini disebutkan Allah di dalam firman-Nya :
„Dan ingatlah ketika Kami hadapkan serombongan
jin kepadamu yang mendengarkan al-Quran
, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya),
lalu mereka berkata, “Diamlah
kamu (untuk mendengarkanya).“ Ketika pembacaan telah selesai , maka kembali
mereka kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata ,“Hai kaumu
kami sesungguh kami telah mendengarkan kitab (a-Quran) yang telah diturunkan
sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab sebelumnya lagi memimpin kepada
kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang
yang meyeru kepada-Nya, niscaya Allah akan
mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu
dari azab yang pedih.“ QS al-Ahqaf : 29-31
Dan dalam
firman-Nya yang lalu :
„Katakanlah (hai Muhammad),“Telah diwahyukan
kepadaku bahwa telah mendengarkan
sekumpulan jin (akan al-Quran) lalu mereka
berkata,“ Sesungguhnya kami telah mendengarkan
al-Quran yang menakjubkan.“ QS al-Jin : 1
kemudian
Rasulullah saw bersama Zaid berangkat menuju ke Mekkah. Ketika itu Zaid bin
Haritsah bertanya kepada Rasulullah saw ,“Bagaimana engkau hendak pulang ke
Mekkah,
sedangkan
penduduknya telah mengusir engkau dari sana?“ Beliau menjawab ,“ Hai Zaid,
sesungguhnya
Allah akan menolong agama-Nya dan membela Nabi-Nya.“
Lalu Nabi saw
mengutus seorang lelaki dari Khuza’ah untuk menemui Muth’am bin
‘Adi dan
mengabarkan bahwa Rasulullah saw ingin masuk ke Mekkah dengan perlindungan
darinya.
Keinginan Nabi saw ini diterima oleh Muth’am sehingga akhirnya Rasulullah saw
kembali memasui
Mekkah.
Beberapa
Ibrah
Dari peristiwa
hijrah yang dilakukan Rasulullah sw ini dan dari siksaan dan penderitaan
yang ditemuinya
dalam perjalanan ini, kemudian dari proses kemblainya Rasulullah saw ke
Mekah, kita
dapat menarik beberapa perlajaran berikut :
Pertama, bahwa semua
bentuk penyiksaan dan penderitaan yang dialami Rasulullahs aw ,
khususnya dalam
perjalanan hijrah ke Thaif ini hanyalah merupakan sebagian dari perjuangan
tabligh-nya
kepada manusia.
Diutusnya
Rasulullah saw bukan hanya untuk menyampakan aqidah yang benar
tentang alam
dan penciptaannya, hukum-hukum ibadah, akhlak, dan mu’amalah tetapi juag
untuk
menyampaikan kepada kaum Muslimin kewajiban bersabar yang telah diperintahkan
Allah dan
menjelaskan cara pelaksanaan sabar dan mushabarah (melipatgandakan kesabaran)
yang
diperintahkan Allah di dalam firman-Nya :
„Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu
dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah
bersiap siaga dan bertawakalah kepada Allah,
supaya kamu beruntung.“ QS Ali Imran : 200
Rasulullah saw
telah mengajarkan kepada kita cara melaksanakan peribadatan dengan
peragaan yang
bersita aplikatif , lalu bersabda :
„Shalatlah kamu
sebagaimana kamu melihat (cara) aku shalat.
Sabda Nabi saw
:
„Ambillah
dariku manasik (cara pelaksanaan ibadah haji) mu.“ Jika hal ini dikaitkan
dengan kesabaran, maka seolah-olah Rasulullah saw melalui kesabaran yang telah
dicontohkannya, memerintahkan kepada kita,“Bersabarlah sebagaimana kamu melihat
aku bersabar.“ Sebab bersabar merupakan salah atu prinsip Islam terpenting yang
harus disampaikan kepada semua manusia.
Dalam memandang
fenomena hijrah Rasulullah saw ke Thaif ini, mungkin ada orang
menyimpulkan
bahwa Rasulullah saw telah menemui jalan buntu dan merasa putus asa,
sehingga dalam
menghadapi penderitaan yang sangat berat itu ia mengucapkan doa tersebut
kepada Allah,
setelah tiba di kebun kedua anak Rabi’ah.
Tetapi
sebenarnya Rasulullah saw telah menghdapi penganiayaan tersebut dengan peuh
ridha, ikhlas
dan sabar. Seandainya Rasulullah saw tidak sabar menghadapinya tentu beliau
telah membalas
jika suka tindakan orang-orang jahat dan para tokoh Bani Tsaqif yang
mengerahkan
mereka. Namun ternyata Rasulullah saw tidak melakukannya.
Antara dalil
yang menguatkan apa yang kami kemukakan ialah hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a , ia berkata :
„Wahai Rasulullah saw , pernahkah engkau
mengalami peristiwa yang lebih berat dari peristiwa
Uhud ?“ Jawab Nabi saw ,“Aku telah mengalami berbagai penganiayaan dari kaumku. Tetapi penganiayaan
terberat yang pernah aku rasakan ialah pada hari ‘Aqabah di mana aku datang dan berdakwah kepada
Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kilal, tetapi tersentak dan tersadar ketika sampai di
Qarnu’ts-Tsa’alib. Lalu aku angkat kepalaku, dan aku pandang dan tiba-tiba muncul Jibril memanggilku seraya
berkata ,“ Sesungguhnya Allah telah mendengar
perkataan dan jawaban kaummu terhadapmu, dan Allah telah mengutus Malaikat penjaga gunung untuk engkau
perintahkan sesukamu,“ Nabi saw melanjutkan . Kemudian Malaikat penjaga gunung memanggilku
dan mengucapkan salam kepadaku lalu berkata ,“ Wahai Muhammad! Sesungguhnya
Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu. Aku adalah Malaikat penjaga
gunung , dan Rabb-mu telah mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu,
jika engkau suka, aku bisa membalikkan gunung Akhsyabin ini ke atas mereka. „
Jawab Nabi saw,“ Bahkan aku menginginkan semoga
Allah berkenan mengeluarkan dari
anak keturunan mereka generasi yang menyambah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya, dengan sesuatu pun.“
Ini menunjukkan
bahwa Rasulullah saw ingin mengajarkan kepada para sahabatnya dan
ummatnya
sesudahnya, kesabaran dan seni kesabaran dalam menghadapi segala macam
penderitaan di
jalan Allah.
Mungkin timbul
pertanyaan lain : Apa arti pengaduan yang telah disampaikan oleh
Rasulullah saw
? Apa maksud lafadzh-lafadzh doanya ynag mengungkapkan perasaan putus asa
dan kebosanan
akhibat berbagai usaha dan perjuangan yang hanya menghasilkan penderitaan
dan penyiksaan
?
Jawabnya, bahwa
pengaduan kepada Allah adalah ‘ibadah. Merendahkan diri kepada-
Nya dan
menghinakan diri di hadapan pintu-Nya adalah perbuatan taqarrub ketaatan.
Sesungguhnya
penderitaan dan musibah yang menimpah manusia mempunyai beberapa
hikmah. Antaranya,
akan membawa orang yang mengalami musibah dan penderitaan itu
kepada pintu
Allah dan meningkatkan ‘Ubudiyah kepada-Nya. Maka tidak ada pertentangan
antara
kesabaran terhadap penderitaan dan pengaduan kepada Allah. Bahkan kedua sikap
ini
merupakan
tuntutan yang diajarkan Rasulullah saw kepada kita . melalui kesabarannya
terhadap
penderitaan dan penganiayaan, Rasulullah saw ingin mengajarkan kepada kita
bahwa
kesabaran ini
adlah tugas kaum Muslimin secara umum, dan para da’i secara khususnya.
Melalui
pengaduan dan taqarrub kepada Allah, Rasulullah saw ingin mengajarkan kepada
kita
kewajiban
‘ubudiyah dan segala konsekuensinya kepada kita. Perlu disadari betatapun
tingginya jiwa manusia, dia tidak akan melampaui batas kemanusiaannya. Manusia
selamanya tidak dapat menghindari diri dari fitrah, perasaannya, perasan senang
dan sedih, perasaan menginginkan kesenangan dan tidak menghendaki kesusahan.
Ini berarti
bahwa Rasulullah saw kendatipun telah mempersiapkan dirinya untuk
menghadapi
berbagai penganiayaan dan penyiksaan di jalan Allah, tetapi beliau tetap
memiliki
perasaan
sebagai manusia, merasa sakit bila tertimpa kesengsaraan, dan merasa bahagia
bila
mendapatkan
kesenangan.
Tetapi
Rasulullah saw rela menghadapi penderitaan berat dan meninggalkan kesenangan
demi mengharap
ridhah Allah dan menunaikan kewajiban ‘ubudiyah . Di sinilah letak pemberian
pahala dan
terlihatnya arti taklif (pembebanan) kepada manusia.
Kedua, jika anda
perhatikan setiap peristiwa Sirah Rasulullah saw bersama kaumnya, akan
adan dapati
bahwa penderitaan yang dialami oleh Rasulullah saw kadang sangat berat dan
menyakitkan.
Tetapi pada setiap penderitaan dan kesengsaraan yang dialaminya selalu
diberikan
penawar yang melegakan hati dari Allah swt. Penawar ini dimaksudkan sebagai
hiburan bagi
Rasulullah saw agar faktor-faktor kekecewaan dan perasaan putus asa tidak
sampai merasuk
ke dalam jiwanya.
Dalam peristiwa
hijrah Rasulullah saw ke Thaif dengan segala penderitaan yang
ditemuinya,
baik berupa penyiksaan ataupun kekecewaan hati, dapat anda lihat adanya penawar
Ilhi terhadap
kebodohan orang-orang yang mengejar dan menganiayanya. Penawar ini
tercermin pada
seorang lelaki Nasrani, Addas, ketika datang kepadanya seraya membawa
anggur,
kemudian bersuimpuh di hadapannya seraya mencium kepada , kedua tangan dan
kakinya,
setelah Nabi saw mengabarkan kepadanya bahwa dirinya adalah seoran g Nabi.
Peristiwa ajaib
simbol-simbol takdir yang terdapat di dalam peristiwa ini! Kebaikan ,
kedermawanan
dan kemuliaan datang begitu cepat memintakan ma’af atas kejahatan,
kebodohan dan
kedzaliman ynag baru saja dialaminya . Kecupan mesra itu datang setelah
umpatan-umpatan
permusuhan.
Sesungguhnya
kedua anak Rabi’ah termasuk musuh bebuyutan Islam. Bahkan termasuk
di antara
orang-orang yang mendatangi Abu Thalib, paman Rasulullah saw meinta agar Abu
Thalib
menghentikan Muhammad saw atua membiarkan mereka bertarung melawan
Muhammad,
sampai salah satu di antara kedua keompok hancur binasa. Tetapi naluri
kebiadaban itu
berubah dengan serta merta menjadi naluri kemanusiaan yang dibawa oleh
agama ini,
karena masa depan agama berkaitan erat dengan pemikiran, bukan dengan naluri.
Demikianlah ,
agama Nasrani datang memeluk Islam dan mendukungnya, karena satu
agama yang
benar dengan agama yang benar lainnya ibarat seseorang dengan saudara
kandungnya.
Jika hubungan antara dua orang bersudara itu adlaah hubungan darah, maka
hubungan antara
satu agama benar dengan agama benar lainnya adalah hubungan akal dan
pemahaman yang
benar. Kemudian takdir Ilahi menyempurnakan simbolnya di dalam kisah ini dengan
pemetikkan buah anggur sebagai makanan yang manis dan memuaskan. Setangkai
anggur yang telah dipetik ini menjadi simbol bagi ikatan Islam yang agung dan
penuh kasih sayang, setiap buah anggur melambangkan sebuah pemerintahan Islam.
Ketiga, apa yang
dilakukan oleh Zaid bin Haritsa, yaitu melindungi Rasulullah saw dengan
dirinya dari
lemparan batu orang-orang bodoh bani Tsaqif sampai kepalanya menderita
beberapa luka ,
merupakan contoh yang harus dilakukan oleh setiap kaum Muslimin dalam
bersikap
terhadap pemimpin dakwah. Ia harus melindungi pemimpin dakwah dengan dirinya
sekalipun harus
mengorbankan kehidupannya.
Demikianlah
sikap para sahabat terhadap Rasulullah saw. Sekalipun beliau sudah tidak
ada di antara
kita sekarang, namun kita dapat melakukannya dalam bentuk yang lain, yaitu,
dengan kesiapan
diri kita dalam menghadapi segala penderitaan dan penyiksaan di jalan dakwah
Islam, dan
menyumbangkan perjuangan berat sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah saw.
Tetapi setiap
jaman dan masa harus ada para pemimpin dakwah Islam yang menggantikan
kepemimpinan Nabi saw dalam berdakwah, di mana prajurit yang setia dan ikhlas
di sekitar mereka mendukung para pemimpin terssebut dengan harta dan jiwa sebagaimana
yang telah dilakukan kaum Muslimin kepada Rasulullah saw.
Keempat, apa yang
dikisahkan oleh Ibnu Ishaq tentang beberapa jin yang mendengarkan
bacaan
Rasulullah saw ketika sedang melakukan shalat malam di Nikhlah, merupakan dalil
bagi eksistensi
jin , dan bahwa mereka mukallaf (dibebani kewajiban melaksanakan syariat
Islam). Antara
mereka terdapat jin-jin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya , di
samping mereka
yang ingkar dan tidak beriman. Dalil ini telah mencapai tingkatan qath’i
(pasti)
dengan
disebutkannya di dalam beberapa nash al-Quran yang jelas, seperti beberapa ayat
pada
awal seurat
al-Jin dan seperti firman Allah di dalam surat al-Ahqaf :
„Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan
jin kepadamu yang mendengarkan al-Quran, maka tatkala mereka
menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata ,“Diamlah kamu
(untuk mendengarkannya).“ Ketika pembacaaan
telah selesai mereka kembali kepada kaumnya
(untuk) memberi peringatan. Mereka berkata :“
Hai kaum kami , sesungguhnya kami telah
mendengarkan kitab (al-Quran) yang telah
diturunkan sesudah Musa ynag membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi
memimpin kepada pendengaran dan kepada jalan yang lurus. Hai
kaum kami , terimalah (seruan) orang yang
menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya
Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan
melepaskan kamu dari ahzab yang
pedih.“ QS al-Ahqaf : 29-31
ketahuilah
bahwa kisah yang disebutkan Ibnu Ishaq dan diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam
di dalam
Sirahnya ini, juga disebutkan oleh Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi dengan teks
yang
hampir sama
dengan tambahan rincian sedikit. Dan berikut ini teks yang diriwayatkan oleh
Bukhari dengan
sanadnya dari Ibnu Abbas :
„Bahwa Nabi saw
berangkat bersama sejulah sahabatnya menuju pasar ‘Ukazh . Dalam pada
itu,
setan-setan iut kembali. Mereka bertanya-tanya,“Mengapa kita dihalangi dari
memperoleh
kabar langit
dan dilempari dengan beberapa bintang?“ Dijawab,“ Tidak ada yang menghalangi
kamu dari
memperoleh kabar langit kecuali apa yang telah terjadi. Maka pergilah ke segala
penjuru dunia,
dari ujung timur sampai ke ujung barat, dan perhatikanlah peristiwa apakah
yang terjadi
iut ?“ Lalu mereka pergi melacak dari uung timur sampai ke ujung barat, mencari
apa gerangan
yang menghalangi mereka dari mendapatkan kabar langit itu ? Maka berangkatlah
mereka yang pergi ke Tihamah menuju kepada Rasulullah saw di Nikhlah hendak ke
pasar ‘Ukazh, ketika itu Rasulullah saw sedang mengimami para sahabatnya dalam
shalat subuh. Ketika mendengar bacaan al-Quran dengan penuh perhatian mereka
mendengarkannya.
Kemudian mereka
berkata,“Inilah yang menghalangi kita dari kabar langit.“ Setelah itu mereka
kembali kepada
kaum mereka seraya berkata ,“ Wahai kaum kami, sesungguhnya kami telah
mendengarkan
al-Quran (bacaan) yang menakjubkan yang menunjukkan kepada kebenaran,
lalu kami
mempercayainya, dan kkami tidak menyekutukan Rabb kami dengan siapapun.“ Lalu
Allah
menurunkan (ayat) kepada Nbi-Nya,“ Katakanlah ,“Telah diwahyukan kepadaku
bahwasannya
telah mendengarkan sekumpulan jin (akan al-Quran) ...“
Teks yang
diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi sama ddengan riwayat ini, hanya saja
terdapat
tambahan di awal hadits : Rasulullah saw tidak membacakan kepada jin, juga
tidak
melihat mereka.
Ia berangkat bersama sejumlah sahabatnya.
Al-Asqalani
berkata : Seolah-olah Bukhari sengaja membuang lafadzh ini, karena Ibnu
Mas’du
menyebutkan bahwa Nabi saw membacakan kepada jin. Maka riwayat Ibnu Mas’du
didahulukan
daripada penafikan Ibnu Abbas. Bahkan Muslim telah mengisyaratkan hal ini,
kemudian
meriwayatkan hadits Ibnu Mas’du setelah hadits Ibnu Abbas ini. Nabi saw
bersabda :
„ Telah datang
kepadaku seorang penyeru dari bangsa jin, lalu aku berangkat bersamanya,
kemudian akau
bacakan al-Quran kepadanya.“ Antara dua riwayat ini dapat dikompromikan
dengan
mengatakan bahwa peristiwa terjadi beberapa kali.
Riwayat Muslim,
Bukhari dan Tirmidzi ini berbeda dengan riwayat Ibnu Ishaq dalam
dua segi. Pertama, riwayat Ibnu Ishaq tidak menyebutkan
bahwa Nabi saw shalat bersama para
sahabatnya.
Bahkan riwayat Ibnu Ishaq menjelaskan bahwa Nabi saw shalat sendirian. Padahal
,
riwayat-riwayat lain menyebutkan bahwa Nabi saw mengimami sahabatnya. Kedua, riwayat
Ibnu Ishaq
tidak menentukan shalat subuh, sementara riwayat-riwayat lain menyebutkannya.
Menyangkut
riwayat Ibnu Ishaq tidak ada masalah. Tetapi menyangkut riwayat-riwayat
lain timbul dua
kemusykilan. Pertama, Nabi saw berangkat ke Thaif dan pulang darinya, s
ebagaimana anda
ketahui hanya disertai oleh Zaid bin Haritsa. Maka bagaimana mungkin Nabi
saw shalat
bersama para sahabatnya ? Kedua , shalat lima waktu tidak disyariatkan kecuali
setelah Isra’
MI’raj sedangkan Isra’Mi’raj terjadi setelah hijrah Rasulullah saw ke Thaif
menurut
pendapat Jumhur . Maka bagaimana mungkin Rasulullah saw melaksanakan shalat
subuh pada
waktu itu ?
menyangkut
kemusykilan pertama dapat dijawab, bahwa mungkin saja Rasulullah saw
ketika sampai
di Nihlah (sebuah tempat dekat Mekkah) bertemu dengan para sahabatnya , lalu
shalat subuh
bersama mereka di tempat tersebut.
Menyangkut
kemusykilan kedua dapat dijawab bahwa peristiwa mendengarnya jin terhadap
bacaan al-Quran ini terjadi lebih dari sekali. Pernah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
dan
pernah juga
diriwayatkan oleh Ibnu Mas’du. Kedua riwayat ini sama-sama sahih. Dan pendapat
inilah yang
diambil oleh jumhur ulama peneliti. Ini jika kita mengikuti pendapat yang
mengatakan
bahwa peristiwa Isra’ dan MI’raj terjadi setelah hijrah ke Thaif. Tetapi jika
kita
mengikuti
pendapat yang mengatakan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi sebelum hijrah ke Thaif,
maka
tidak lagi ada
kemusykilan.
Yang perlu kita
ketahui, setelah penjelasan di atas bahwa setiap Muslim wajib
mengimani
adanya jin, dan bahwa mereka adalah makhluk hidup yang juga dibebani oleh Allah
untuk beribadah
kepada-Nya sebagaimana kita, kendatipun semua indera kita tidak dapat
menjangkaunya.
Sebab Allah memang menjadikan eksistensi merekae di luar jangkauan
kemampuan mata
kita. Apalagi , mata kita hanya bisa melihat beberapa benda t ertentu, dengan
ukuran tertentu
, dan dengan syarat-syarat tertentu.
Karena
keberadaan makhluk ini didasarkan atas berita yang mutawatir dari al-Quran
dan Sunnah,
maka kaum Muslim telah sepakat bahwa setiap orang yang mengingkari atau
meragukan
keberadaan jin adalah murtad dan keluar dari Islam. Sebab mengingkari sesuatu
yang bersifat
aksiomatik di dalam islam, di samping merupakan pendustaan terhadp kahabr
mutawatir yang
datang kepada kita dari Allah dan Rasul-Nya.
Jangan sampai
ada orang berakal sehat yang terjerumus ke dalam kedunguan karena
tidak mau
meyakini sesuatu yagn tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, kemudian menolak
keberadaan jin
hanya karena dia tidak melihat jin.
„Kebodohan
intelektual“ seperti ini akan mengharuskan pengingkaran terhadap setiap
benda atau
makhluk ghaib h anya karena tidak dapat dilihat. Padahal kaidah ilmiah yang
sudah
terkenal
mengatakan :Tidak dapat dilihatnya sesuatu tidak berarti tidak adanya sesuatu
tersebut.
Kelima, apa pengaruh
semua peristiwa disaksikan dan dialami oleh Rasulullah saw selama
perjalannya ke
Thaif ini pada dirinya ?
Jawabannya ,
terhadap pertanyaan ini nampak jelas dalam jawaban Rasulullah saw
kepada Zaid bin
Haritsa ketika Zaid bertanya kepadanya dengan penuh keheranan :
„Bagaimana
engkau hendak pulang ke Mekkah, wahai Rasulullah saw , sedangkan
penduduknya
telah mengusir engkau dari sana?“
Dengan tenang
dan penuh keyakinan Rasulullah saw menjawab : „Hai Zaid !Sesungguhnya Allah-lah
yang akan memberi kita jalan keluar sebagaimana yang akan engkau lihat nanti.
Sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya dan membela Nabi-Nya.
Jelas bahwa
semua yang disaksikan dan dialaminya di Thaif setelah penyiksaan dan
penganiayaan
yang dialaminya di mekkah, tidak memiliki pengaruh sama sekali terhadap
keyakinannya
kepada Allah, atau melemahkan kekuatan teakadnya yang positif di dalam
jiwanya
Demi Allah !
Ini bukanlah ketabahan manusia biasa yang memiliki kekuatan lebih dalam
menghadapi
penderitaan dan tekanan. Tetapi ia adalah keyakinan Nubuwwah yang telah
menghujam dalam
di dalam hatinya. Rasulullah saw mengetahui bahwa segala tindakkannya itu
semata-mata
untuk menjalankan perintah Allah dan berjalan di atas jalan ynag diperintahkanNya
, beliau tidak pernah ragu sedikitpun bahwa Allah pasti akan memenangkan
urusan-Nya,
dan bahwa Dia
telah menjadikan ketentuan bagi tiap sesuatu.
Pelajaran yang
dapat kita ambil dalam hal ini, bahwa semau penderitaan dan rintangan
yang ada di
jalan dakwah Islam tidak boleh menghalangi atau menghentikan perjuangan kita,
atau
mengakibnatkan kegentaran dan kemalasan dalam diri kita, slama kita berjalan di
atas
petunjuk
keimanan kepada Allah. Siapa saja yang telah mengambil bekal kekuatannya dari
Allah, maka dia
tidak akan pernah mengenal putus asa atau malas. Selama Allah yang
memerintahkan,
pasti Dia akan menjadi penolong dan pembela.
Kehinaan,
kemalasan dan putus asa akibat penderitaan dan rintangan, hanya akan
dialami oleh
orang yang menganut prinsip dan ideologi yang tidak diperintahkan Allah. Sebab
mereka hanya
mengandalkan kepada kekuatannya sendiri, kekuatan manusia yang serba
terbatas.
Segala bentuk kekuatan dan ketabahan manusia akan berubah dan terancam
kehancuran dan
kelesuan manakala mengalami penderitaan dan kesengsaraan yang panjang
mengingat
ukuran kekuatan manusia yang serba terbatas.
Mu’jizat Isra’ dan Mi’raj
Isra’ ialah
perjalanan Nabi saw dari Masjidil al-Haram di Mekkah ke Masjidil al-Aqsha
di al-Quds.
Mi’raj ialah kenaikan Rasulullah saw menembus beberapa lapisan langit tertinggi
sampai batas
yang tidak dapat dijangkau oleh ilmu semua makhluk, Malaikat, manusia dan jin .
Semua itu
ditempuh dalam sehari semalam.
Terjadi silang
pendapat tentang sejarah terjadinya mu’jizat ini. Apakah pada tahun
kesepuluh
kenabian ataukah sesudahnya? Menurut riwayat Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat-nya
peristiwa ini
terjadi delapan belas bulan sebelum hijrah.
Jumhur kaum
Muslim sepakat bahwa perjalanan ini dilakukan Rasulullah saw dengan
jasad dan ruh.
Karena itu, ia merupakan salah satu mu’jizatnya ynag mengagumkan yang
dikaruniakan
Allah kepadanya.
Kisah
perjalanan ini disebutkan oleh Bukhari dan Muslim secara lengkap dalam shahihnya.
Disebutkan bahwa dalam perjalanan ini Rasulullah saw menunggang Buroq yakni
satu jenis
binatang yang lebih besar sedikit dari keledai dan lebih kecil sedikit dari
unta.
Binatang ini
berjalan denganlangkah sejauh mata memandang. Diebutkan pula bahwa Nabi saw
memasuki
Masjidil l-Aqsha lalu shalat dua raka’at di dalamyna. Kemudian Jibril datang
kepadanya
seraya membawa segelas khamar dan segelas susu. Lalu Nabi saw memilih susu.
Setelah itu
Jibril berkomentar ,“Engkau telah memilih fitarh.“ Dalam perjalanan ini
Rasulullah
saw naik ke
langit pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya sampai ke Sidratul-Muntaha. Di
sinilah
kemudian Allah mewahyukan kepadanya apa yang telah diwahyukan di antaranya
kewajiban
shalat lima waktu atas kaum Muslim, dimana pada awalnya sebanyak lima puluh
kali
sehari semalam.
Keesokan
harinya Rasulullah saw menyampaikan apa yang disaksikan kepada penduduk
Mekkah. Tetapi
oleh kaum musyrik berita ini didustakan dan ditertawakan. Sehingga sebagian
mereka
menantang Rasulullah saw untuk menggambarkan Baitul -maqdis, jika benar ia
telah
pergi dan
melakukan shalat di dalamnya. Padahal ketika menziarahinya, tidak pernah
terlintas
dalam pikiran
Rasulullah saw untuk menghafal bentuknya dan menghitung tiang-tiangnya.
Kemudian Allah
swt memperlihatkan bentuk dan gambar Baitul-maqdis di hadapan Rasulullah
sw sehingga
dengan mudah beliau menjelaskannya secara rinci.
Bukhari dan
Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda :
„Ketika kaum
Quraisy mendustakan aku, aku berdiri di Hijr (Isma’il), lalu Allah
memperlihatkan
Baitul-Maqdis kepadaku. Kemudian aku kabarkan kepada mereka tentang
tiang-tiangnya
dari apa yang aku lihat.
Berita ini oleh
sebagian kaum musyrik disampaikan kepada Abu Bakar dengan harapan
dia akan
menolaknya. Tetapi ternyata Abu Bakar menjawab,“Jika memang benar Muhammad
yang
mengatakannya, maka dia telah berkata benar dan sungguh aku membenarkan lebih
dari
itu.“
Pada pagi
harinya di malam Isra’ itu Jibril datang kepada Rasulullah saw mengajarkan
cara shalat dan
menjelaskan waktu-waktunya. Sebelum disyariatkannya shalat lima aktu ,
Rasulullah saw
melakukan shalat dua ra’kaat di pagi hari dan dua raka’at di sore hari
sebagaimana
dilakukan oleh Ibrahim as.
Beberapa
Ibrah
Pertama :
Penjelasan tentang Rasul dan Mu’jizat
Banyak penulis
yang begitu gemar menggambarkan kehidupan Rasulullah saw sebagai
kehiduapn
manusia biasa, jauh dari hal-hal ynag luar biasa dan mu’jizat. Bahkan tidak
memperhatikan
sama sekali adanya kemu’jizatan dalam kehidupan nabi saw dengan berdalil
kepada ayat :
„Katakanlah
,“Sesungguhnya mu’jizat itu hanya berada di sisi Allah .....“ QS al-An’am :
Gambaran
seperti ini akan memberikan kesan kepaa para pembaca bahwa Sirah
Rasulullah saw
sama sekali jauh dari mu’jizat dan bukti-bukti yang biasanya digunakan Allah
untuk mendukung
para Nabi-Nya yang jujur dan benar.
Jika kita
telusuri sumber „teori“ tentang Rasulullah saw ini ternyata kita dapati berasal
dari pemikiran
sebagian orientali dan peneliti asing, seperti Gustav Lobon, August Comte dan
Goldzieher dan
teman-temannya. Timbulnya teori ini disebabkan oleh tidak adanya keimanan
kepada pencipta
mu’jizat. Sebab jika keimanan kepada Allah telah menghujam di dalam hati,
maka akan mudah
untuk meyakini segala sesuatu. Bahkan tidak akan ada lagi di dunia ini
sesuatu yang
berhak disebut mu’jizat.
Kemudian
pemikiran-pemikiran asing yang dikemukakan oleh sebagian pemikir muda
Muslim ini oleh
para musuh Islam, khususnya orientalis , dijadikan alat utuk membuka medan-medan
dan ladang-ladang baru untuk melakuan ghazwul fikri dan menimbulkan keraguan
kaum
Muslim terhadap
agamanya . Senjata bagi serbuan langsung terhadap aqidah Islamiyah dan
penanaman pemikiran-pemikiran
sekuler di benak kaum Muslimin.
Demikianlah
mereka mulai memberikan sifat-sifat tertentu kepada Rasulullah saw ,
seperti heroik,
jenius, pahlawan, dan pemimpin dalam arti kata yang serba menakjubkan. Pada
waktu yang sama
mereka menggambarkan kehidupan umum Rasulullah saw jauh dari mu’jizat
dan hal-hal
yang luar biasa yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran, sehingga dengan
demikian akan
tercipta suatu gambaran baru tentang diri Nabi saw, di dalam benak kaum
Muslim. Kadang
mereka menamakan Rasulullah saw sebagai seorang jeius, atau seorang
komandan, atau
seorang pahlawan. Tetapi sesuatu yang tidak boleh muncul sama sekali adalah
gambaran bahwa
Muhammad saw sebagai seorang Nabi dan Rasul. Sebab semua hakekat
kenabian dan
segala hal yang berkaitan dengannya seperti wahyu, mu’jizat dan hal-hal yang
luar biasa
lainnya telah dibunag melalui penonjolan istilah-istilah tertentu, seperti
jenius dan
pahlawan yang
jauh dari mu’jizat ke dalam keranjang mitologi atau dongeng-dongeng yang
sudah usang. Ini
karena mereka menyadari bahwa fenomena wahyu dan kenabian merupaakan
puncak
kemu’jizatan.
Pada saat
itulah akan muncul anggapan bahwa sebab kemajuan dakwah Rasulullah saw
dan banyaknya
pengikut yang setia kepadanya, adalah kaerne faktor kejeniusan dan
kepahlawanannya.
Perhatikanlah !Sesungguhnya sasaran yang ingin mereka capai ini nampak
jelas ketika
mereka memasarkan istilah „Muhammadaniest“ sebagai danti dari Muslimin.
Tetapi sejauh
manakah kebenaran gambaran tentang diri Muhammad saw ini dalam
kacamata kajian
yang objektif dan logis?
Pertama, jika kita
perhatikan kembali fenomena wahyu ynag nampak dengan jelas pada
kehidupan
Rasulullah saw (pada bab terdahulu telah dijelaskan secara rinci), nyatalah
bagi kita
bahwa
sifat-sifat yang paling menonjol dalam kehidupannya ialah sifat kenabian.
Kenabian
adalah termasuk
nilai-nilai keghaiban yang tidak mengikuti kriteria-kriteria kita yang bersifat
empirik. Dengan
demikian arti mu’jizat yang diluar kebiasaan itu tetap ada pada pangkal
keberadaan Nabi
saw. Tidak mungkin kita menolak mu’jizat dan hal-hal yang luar biasa dari
kehidupan Nabi
saw , kecuali dengan menghancurkan makna kenabiasn itu sendiri dari
kehidupannya.
Ini berarti juga penolakkan terhadap agama itu sendiri, kendatipun kesimpulan
ini tidak disebutkan
secara eksplisit oleh sebagian orientalis dan cukup dengan menjelaskan
kejeniusan dan
keberanian Rasulullah saw . Mereka tidak perlu lagi menjelaskan kesimpulan
karena telah
cukup dengan muqaddimah. Kesimpulan akan terbentuk secara otomatis setelah
diteirma
muqaddimahnya.
Namun banyak
pula di antara mereka yang seara terus terang menyebutkan „kesimpulan“ karena
kebencian yang tak tertahankan lagi. Seperti Syibli Syamil ketika menamakan
keimanan kepada agama dengan „keimanan kepada mu’jizat yang mustahil“ Dengan
demikian tidak ada gunanya lagi membahas keingkaran atau keimanan mereka terhadap
mu’jizat , karena sejak awal mereka sudah meragukan atau menolak dasar agama
itu sendiri.
Kedua, jika kita
perhatikan Sirah kehidupan Rasulullah saw , maka akan kita dapati
bahwa Allah
telah memberikan banyakmu’jizat kepada Nabi saw. Keberadaan dan kebenaran
mu’jizat-mu’jizat
ini tidak dapat kita tolak begitu saja, karena peristiwa-peristiwa mu’jizat itu
disampaikan
kepada kita dengan sanad-sanad yang shahih dan mutawatir yang mencapai
tingkatan pasti
dan yakin.
Antara
peristiwa memancarnya air dari jari-jari Rasulullah saw yang mulia. Peristiwa
ini
diriwayatkan oleh Bukhari di dalam bab Wudhu’, Muslim di dalam bab al-Faha’il
(keutamaan),
Malik di dalam al-Muqaththa’, dan imam-imam hadits lainya dengen beberapa
jalan yang
berlainan. Sehingga az-Zarqani meriwayatkan perkataaan al-Qurthubi :
Sesungguhnya
peristiwa memancarnya air dari jari-jari Rasulullah saw berulang-ulang di
beberapa
tempat. Peristiwa ini juda diriwayatkan dari jalan yang banyak, yang semuanya
mencapai
tingkatan pasti, bahkan dapat dikatakan mutawatir ma’nawi.
Mu’jizat
Rasulullah saw lainnya ialah peristiwa terbelahnya bulan pada masa Nabi saw
ketika
orang-orang musyrik memintanya. Perisitwa ini diriwayatkan oleh Bukhari di
dalam bab
Ahaditsul-Anbiya,
Muslim di dalam bab Shifatul - Qiyamah dan imam -imam hadits lainnya.
Berkata Ibnu
Katsir ;“Peristiwa ini diriwayatkan oleh hadits-hadits yang mutawatir dengan
sanad-sanad
yang shahis.“ Para ulama telah sepakat bahwa peristiwa ini terjadi pada masa
Nabi
saw dan
merupakan salah satu mu’jizat yang mengagumkan.
Dan peristiwa
Isra’ Mi’raj yang sedang kita bahas ini juga merupakan salah satu mu’jizat Nabi
saw, bahkan sebagian besar kaum Muslimin telah sepakat bahwa Isra’ dan Mi’raj ini
termasuk mu’jizat Nabi saw yang terbesar. Tetapi anehnya orang-orang yang
memberikan sifat jenius kepada Rasulullah saw dan menolak apa yang disebut
mu’jizat dari kehidupannya , berpura-pura tidak mengetahui hadits-hadits mutawatir
yang mencapai tingkat derajat Qath’i (pasti) ini: Mereka tidak pernah mau menyinggungnya
sama sekali, bai dalam konteks positif ataupun negatif. , seolah-olah kitab-kitab
hadits tidak pernah memuatnya. Padahal masing-masingnya diriwayatkan lebih dari
sepuluh jalan (sanad).
Penyebab utama
daris ikap tidak mau tahu ini ialah karena mereka ingin menghindari
kemusykilan
yang akan mereka hadapi manakala membaa hadits-hadits tentang mu’jizat ini.
Sebab
hadits-hadits ini bertentangan diametral dengan teori ang ada di kepala mereka.
Ketiga, mu’jizat
ialah sebuah kata yang jika direnungkan tidak memiliki definisi yang
berdiri
sendiri. Ia hanya suatu makna yang nisbi. Menurut istilah yang sudah
berkembang,
mu’jizat ialah
setiap perkara yang luar biasa. Sedangkan setiap kebiasaan pasti akan
berkembang
mengikuti perkembangan jaman dan berlainan sesuai dengan perbedaan
kebudayaan dan
ilmu pengetahuan. Mungkin sesuatu pada masa tertentu, dianggap sebagai
mu’jizat pada
masa sekarang sudah menjadi hal biasa. Atau mungkin sesuatu yang biasa di
lingkungan
orang-orang yang sudah maju, masih menjadi mu’jizat di kalangan orang-orang
primitif.
Tetapi yang
benar, bahwa sesuatu yang biasa dan yang luar biasa itu pada dasarnya
adlah mu’jizat.
Galaksi ada mu’jizat planet adalah mu’jizat , hukum gaya tarik aglaah mu’jizat
,
peredaran darah
adalah mu’jizat, ruh adalah mu’jizat dan manusia itu sendiri adlaah mu’jizat.
Sungguhn tapat
ketiak seorang ilmuwan Prancis, chatubriant menamakan manusia ini dengan
makhluk
metafisk, yakni makhluk ghaib yang misterius.
Hanya saja ,
manusia telah melupakan karena terlalu lama dan sering menghadapi dan
merasakannya
segi mu’jizat dan nilainya. Kemudian mengira , karena kebodohannya, bahwa
mu’jizat ialah
sesuatu yang mengejutkan dan di luar kebiasaan ini dijadikan ukuran keimanan
atau penolakan
terhadap sesuatu . Ini adalah kebodohan manusia yang aneh pda abad ilmu
pengetahuan dan
teknologi.
Seandainya
manusia mau berpikir lebih jauh sedikit, niscaya akannampak baginya
bahwa Allah
yang menciptakan mu’jizat seluruh alam semesta ini tidak pernah kesulitan untuk
menambahkan
mu’jizat lain, atau mengganti sebagian sistem yang telah berjalan di dalam
semsta ini.
Seorang orientalis , William Johns pernah sampai kepada pemikiran seperi ini
ketika
mengatakan :
„Kekuatan yang
telah menciptakan alam semesta ini tidak pernah kesulitan untuk
membuang atau
menambahkan sesuatu kepadanya. Adakah mudah untu dikatakan bahwa
masalah ini
tidak dapat digambarkan oleh akal. Tetapi yang harus dikatakan bahwa masalah
ini
tidak
tergambarkan, bukan tidak dapat digambarkan sampai ke tingkat adanya alam.“
Maksudnya
seandainya alam ini tidak ada, kemudian dikatakan kepada seseorang yang
mengingkari
mu’jizat dan hal-hal ynag luar biasa, dan tidak dapat menggambarkan
keberadaannya.
Akan ada alam. Niscaya dia akan langsung menjawab,“Ini tidak mungkin dapat
digambarkan.“
Penolakkannya terhadap gambaran seperti ini akan lebih keras ketimbang
penolakkannya
terhadap gambaran adanya mu’jizat.
Inilah yang
harus dipahami oleh setiap Muslim, baik mengenai Rasulullah saw ataupun
mu’jizat-mu’jizat
yang dikaruniakan Allah kepadanya.
Kedua :
Kedudukan Mu’jizat Isra’ dan Mi’raj di antara peristiwa-peristiwa yang telah
dialami
Rasullah saw
pada waktu itu.
Rasulullah saw
telah merasakan berbagai penyiksaan dan gangguan yang dilancarkan
kaum Quraisy
kepadanya. Di antara penderitaan yang terakhir (sampai terjadinya Isra’ dan
MI’raj) ialah
apa yang dialaminya ketika hijrah ke Thaif ynag telah dijelaskan pada bab
terdahulu.
Perasaan tidak berdaya sebagai manusia, dan betapa perlunya kepada pembelaan,
terungkapkan
seluruhnya di dalam doa nabi saw yang diucapkannya setelah tiba di kebun kedua
anak Rabi’ah.
Suatu ungkapan yang menggambarkan ubudiyah kepada Allah. Dlam
munajatnya ini
pula terungkap makna pengaduan kepada Allah dan keingingannya untuk
mendapatkan
penjagaan dan pertolongan-Nya. Bahkan ia khawatir jangan-jangan apa yang
dialaminya ini
karena murka Allah kepadanya. Karenanya, diantara untaian doanya , terucapkan
kalimat :
„Jika Engkau
tidak murka kepadaku, maka semua ini tidak aku hiraukan. „ Kemudian setelah itu
datanglah „undangan“ Isra’ dan Mi’raj sebagai penghormatan dari Allah, dan
penyegaran semangat dan ketbahannya. Di samping sebagai bukti bahwa apa yang
baru dialaminya dalam perjanana hijtah ke thaif bukan karena Allah murka atau melepaskannya,
tetapi hanya merupakan Sunnahtullah yang harus berlaku pada para kekasih-Nya .
Sunnah dakwah Islamiyah pada setiap masa dan waktu.
Ketiga, Makna yang
terkandung dalam perjalanan isra’ ke baitul-Maqdis
Berlangsungnya
pernajalan Isra’ ke Baitul-Maqdis dan Mi’raj ke langit ketujuh dalam
rentang waktu
yang hampir bersamaan, menunjukkan betapa tinggi dan mulia kedudukan
Baitul-Maqdis
di sisi Allah. Juga merupakan bukti nyata akan adanya hubungan yang sangat
erat antara
ajran Isa as dan ajaran Muhammad saw. Ikatan agama yang satu yang diturunkan
Allah kepada
para Nabi as.
Peristiwa ini
juga memberikan isyarat bahwa kaum Muslim di setiap tempat dan waktu
harus menjaga
dan melindungi rumah suci (Baitul-Maqdis) ini dari keserakahan musuh-musuh
Islam.
Seolah-olah hikmah Ilahiyah ini mengingatkan kaum Muslim jaman sekarang agar
tidak
takut dan
menyerah menghadapi kaum Yahudi yang tengah menodai dan merampas rumah suci
ini, utuk
membebaskannya dari tangan-tangan najis, dan mengembalikannya kepada pemiliknya
kaum Muslimin.
Siapa tahu ?
Barang kali peristwia Isra’ yang agung inilah yynag telah mengerahkan
ShalahudDin al
-Ayyubi untuk mengerahkan segala kekuatannya melawan serbuan-erbuan Salib
dan mengusirnya
dari rumah Suci ini.
Keempat: pilihan Nabi
saw terhadap minuman susu, ketika Jibril menawarkan dua jenis
minuman , susu
dan khamar, merupakan isyarat secara simbolik bahwa Islam adalah agama
fitrah . Yakni
agma yang aqidah dan seluruh huumnya sesuai dengan tuntutan fitrah manusia.
Di dalam Islam
tidak ada sesuatu puny ang bertentangan dengan tabiat manusia. Seandainya
fitrah
berbentuk jasad , niscaya Islam akan menjadi bajunya yang pas.
Faktor inilah
yang menjadi rahaia mengapa Islam begitu cepat tersebar dan diterima
manusia. Sebab
betapapun tingginya budaya dan peradaban manusia, dan betapapun menusia
telah mereguk
kebahagiaan material, tetapi ia akan tetap menghadapi tuntutan pemenuhan
fitrahnya. Ia
tetap cenderung ingin melepaskan segala bentuk beban dan ikatan-ikatan yang
jauh dari
tabiatnya. Dan Islam adalah satu-satunya sistem yang dapat memenuhi semua
tuntutan fitrah
manusia.
Kelima, Jumhur Ulama
baik salaf ataupun kahlaf telah sepakat bahwa Isra’ dan Mi’raj
dilakukan
dengan jasad dan ruh oleh Nabi saw.
Imam Nawawi
berkata di dalam Syarhu Muslim,“Pendapat yang benar menurut
kebanyakan kaum
Muslim, Ulama Salaf, semua Fuqaha, ahli hadits dan ahli ilmu tauhid , adalah
bahwa Nabi saw
diisra’kan dengan jasad dan ruhnya. Semua nash menunjukkan hal ini, dan
tidak boleh
ditakwolkan dari arti zhahirnya, kecuali dengan dalil.
Ibnu Hajar di
dalam Syarahnya terhadap Bukhari berkata ,“ Sesungguhnya Isra’ dan
Mi’raj terjadi
pada satu malam, dalam keadaan sadar, dengan jasad dan ruhnya. Pendapat inilah
yang diikuti
oleh Jumhur Ualama, ahli hadits , ahli fiqih, dan ilmu kalam. Semua arti zhahir
dari
hadits-hadits
shahih menunjukkan pengertian tersebut, dan tidak boleh dipalingkan kepada
pengertian
lain, karena tidak ada sesuatu yang mengusik akal untuk menakwilkannya. „
Antara dalil
yang secara tegas menunjukkan bahwa Isra’ dan Mi’raj dilakukan dengan
jasad dan ruh,
ialah sikap kaum Quraisy yang menentang keras kebenaran peristiwa
ini.Seandainya
peristiwa ini hanya melalui mimpi , kemudian Rasulullah saw menyatakannya
demikian kepada
mereka, niscaya tidak akan mengundang keberanian dan pengingkaran
sedemikian
rupa. Sebab penglhatan dalam mimpi itu tidak ada batasnya. Bahkan mimpi seperti
itu , pada
waktu itu bisa saja dialami oelh orang Muslim dan kafir. Seandainya peristiwa
ini
hanya dilakukan
dengan ruh saja, niscaya mereka tidak akan bertanya tentang gambaran baitul-
Maqdis untuk
memastikan dan menentanngnya.
Mengenai
bagaimana mu’jizat ini berlangsung , dan bagaimana akal dapat
menggambarkannya,
maka sesungguhnya mu’jizat ini tidak jauh berbeda dari mu’jizat alam
semesta dan
kehidupan ini. Telah kamis ebutkan , bahwa setiap fenomena-fenomena alam
semesta ini
dengan mudah dapat digambarkan dan diterima akal manusia, mengapa mu’jizat ini
tidak dapat
diterima pula dengan mudah ?
Keenam, Ketika
membahas kisah Isra’ dan Mi’raj ini, hati-hatilah dan jauhkanlah diri anda dari
apa yang
disebut dengan „Mi’raj Ibnu Abbas“. Buku ini berisi kumpulan cerita palsu yang
tidak
memiliki
sandaran kebenaran sama sekali. Penulisnya telah berdusta besar atas nama Ibnu
Abbas. Setiap
orang yang terpelajar dan berakal sehat pasti mengetahui bahwa Ibnu Abbas r.a.
bebas dari
segala kedustaan yang ada di dalam buku tersebut.
No comments:
Post a Comment